Kebangkitan Nasional ditandai dengan
berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Melalui Boedi
Oetomo inilah pendidikan Indonesia bangkit. Spirit inilah yang harus
terus dibangkitkan dalam setiap kali memperingati hari Kebangkitan
Nasional.
Kebangkitan adalah semangat untuk
menjadi lebih baik dalam menyongsong masa depan yang lebih baik pula.
Dalam sejarah pendidikan Indonesia—madrasah, sebagai institusi
pendidikan yang tua, setelah pesantren, di bawah naungan Kementerian
Agama—baru ‘berasa’ mendapatkan pengakuan dari pemerintah setelah
dimasukkan dalam UU Sisdiknas 2003.
Bahkan, setelah itupun, dalam
kenyataannya perlakuan tidak samapun masih menimpa madrasah. Contoh yang
masih hangat di ingatan adalah ‘dibegalnya’ siswa-siswa MI Kalirejo,
Kecamatan Ungaran Timur, MI Al Bidayah, Desa Candi, Bandungan, dan MI
Wonokasihan, Desa/Kecamatan Jambu (Suara Merdeka, 11/03/15) untuk melaju
OSN (Olimpiade Sains Nasional) ke tingkat Provinsi. Alhamdulillah-nya,
protes keras atas kasus ini, membuka pikiran Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Anies Baswedan untuk mengumumkan bahwa OSN dibuka untuk
semua siswa (Suara Merdeka, 12/3/15).
Masuknya madrasah di dalam UU Sisdiknas 2003 memberikan angin segar bagi pengembangan dan bangkitnya madrasah. Dari tahun ke tahun, citra madrasah mulai membaik. Inilah yang diungkapkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (LHS), ketika berbincang dengan penulis, setelah acara pembukaan Perkemahan Pramuka Madrasah Nasional (PPMN) I di Lapangan Tembah Akmil Magelang (12/05/15).
LHS mengungkapkan bahwa PPMN I harus
menjadi momentum kebangkitan madrasah. Menurutnya, indikator-indakator
kebangkitan madrasah yang nyata adalah pertama, mulai membaiknya citra
madrasah di publik. Kini, banyak orangtua yang mempercayakan pendidikan
anak-anaknya di madrasah. Akhirnya, madrasah-madrasah (baik yang negeri
maupun swasta) kini menolak calon peserta didik karena terbatasnya daya
tampun ruang kelas.
Kedua, capaian-capaian prestasi
akademik maupun non akademik siswa-siswi madrasah, tidak hanya di
tingkat nasional tetapi juga internasional. Tahun ini tercatat ribuan
siswa-siswi madrasah Aliyah telah diterima di Perguruan Tinggi Negeri
ternama, seperti UI, UGM, UNY, ITB, IPB, ITS dan UNDIP. Sebelum tahun
2000-an, sudah mendapatkan kenyataan yang seperti ini. Untuk non
akademik misalnya, Bahana Swara Marching Band Madrasah Salafiyah
menyebet juara untuk beberapa kategori dalam Kejuaraan Nasional Hamengku
Buwono Cup 2015 (Suara Merdeka, 19/05/15). Dan masih banyak lagi
deretan daftar prestasi akademik dan non akademik siswa-siswi madrasah
tingkat nasional maupun internasional.
Modal Kebangkitan Madrasah
Kenyataan-kenyataan tersebut menjadi
alasan yang kuat bagi LHS untuk mengajak masyarakat madrasah bangkit,
bangkit untuk menjadi “madrasah lebih baik#lebih baik madrasah”
sebagaimana motto yang sering didengungkan selama ini. Madrasah sudah
memiliki modal yang kuat untuk bangkit. Modal sejarah, bahwa madrasah
adalah akar pendidikan Indonesia yang sudah banyak berkontribusi
pembangunan karakter bangsa dan negara. Modal sejarah itulah yang
kemudian membangkitkan modal semangat untuk berprestasi dan belajar.
Penulis pernah berkunjung ke MI
Wonokasihan, Desa/Kecamatan Jambu yang salah satu siswanya bernama M.
Bahrul Alam, yang terganjal ikut OSN tingkat Provinsi, namun Juara I OSN
bidang IPA Tingkat Kabupaten Semarang. Di sana kondisi madrasahnya jauh
dari standar nasional—untuk mengatakan masih memprihatinkan. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam kondisi yang terbatas, semangat belajar dan
berprestasi siswa-siswi madrasah tidak bisa dibendung lagi.
Program Kebangkitan Madrasah
Modal untuk bangkit sudah dikantongi
madrasah. Pertanyaan berikutnya adalah melalui program apa kebangkitan
tersebut adakan diwujudkan? Sejauh diskusi yang pernah penulis lakukan
di berbagai pertemuan dengan berbagi stakeholder madrasah ada dua
program penting yang mendesak harus segera dilakukan untuk kebangkitan
madrasah.
Pertama, kebangkitan kualitas
guru. Memang diakui bahwa banyak diskusi tentang mutu pendidikan selalu
berpusat pada input sistem, seperti infrastruktur, rasio murid-guru, dan
sebagai. Namun dalam beberapa tahun terakhir, perhatian telah bergeser
kepada proses pendidikan. Nah, proses pendidikan yang baik akan
menghasilkan anak didik yang baik. Untuk menjadi proses pendidikan yang
baik, harus dicetak guru-guru yang baik pula.
Mckindsay (2007) mengatakan bahwa The quality of an education system cannot exceed the quality of its teachers
(kualitas sistem pendidikan tidak akan melampaui kualitas
guru-gurunya). Ini artinya, untuk membangkitkan kualitas madrasah, maka
membangkitkan kualitas guru adalah sebuah keniscayaan. Guru yang baik
akan memberikan impact yang luas bagi outcomes siswa-siswi.
Kedua, selama ini persoalan
penting yang dihadapi madrasah adalah keterbatasan dana. Dana pemerintah
yang disalurkan melalui Kementerian Agama untuk lebih dari 75 ribu
madrasah di Indonesia masih jauh panggang dari api—untuk mengatakan
tidak cukup. Oleh sebab itu, diperlukan aksi-aksi untuk menyakinkan
kepada DPR, BAPPENAS dan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan agar
anggaran pendidikan untuk madrasah disesuaikan dengan kebutuhan yang
ada. Sebab harus diakui, madrasah telah memberikan kontribusi yang
signifikan bagi pencerdasan bangsa. Bagaimana mungkin hal ini tidak
didukung dengan memberikan anggaran dana pendidikan yang layak?
Kiranya dua hal tersebut menjadi langkah awal yang penting bagi kebangkitan madrasah, sebagaimana yang diungkapkan LHS. Semoga. []
HAMAM FAIZIN, Kognitariat pada Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama
0 komentar:
Posting Komentar