“Masih
banyak guru memilih metode pembelajaran gaya jadul, serba menghapalkan.
Diperparah dengan latihan soal tiada henti. Cara itu dinilai mematikan
kreativitas. Ironisnya, masih banyak negara yang mempraktikkannya;
Singapura, Tiongkok, Korea, Polandia, dan Swiss”
(Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan dan Keterampilan dan Penasihat Khusus tentang Kebijakan Pendidikan OECD)
(Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan dan Keterampilan dan Penasihat Khusus tentang Kebijakan Pendidikan OECD)
Jika murid dituntut di era millenium ini
untuk memiliki keterampilan; kolaborasi, komunikasi, dan mencari solusi
atas persoalan sebagai bekal bertahan hidup pada abad ini, mestinya
guru pun begitu. Sayangnya, masih lebih banyak guru yang masih
mempertahankan status quo, mengajar dengan gaya era 80-an kata Schleicher sebagaimana dituturkan oleh Luki Aulia di halaman KOMPAS (28/03/16).
Dunia sudah berubah. Seharusnya guru
memberikan tugas menantang dan memancing keingintahuan sehingga muncul
kreativitas inovasi. Tetapi, untuk bisa seperti itu, guru harus luas
wawasannya dan kompeten di bidangnya. Ini yang selama ini dilakukan
Finlandia dan Jepang
Tidak mudah mendapatkan atau membentuk
guru seperti itu, tetapi bukan tidak mungkin. Untuk memastikan guru
berkualitas, langkah awalnya bisa dari menarik minat lulusan atau
orang-orang terbaik agar mau menekuni profesi guru. Jika profesi guru
dianggap menantang, bergengsi, atau punya masa depan maka para calon
guru yang bagus nan berkualitas akan berdatangan
Guru dituntut tak hanya lihai mengajar,
tetapi juga lihai memfasilitasi dan mendorong potensi setiap anak
didiknya. Jadi, guru pastinya tidak kemudian berarti memberi tugas lalu
murid ditinggalkan begitu saja tanpa bimbingan. Pelaksanaan Kurikulum
2013 (K-13) ini kerap disederhanakan sebagai metode pembelajaran aktif
dan mandiri. Murid disuruh cari bahan sendiri, diskusi sendiri, dan
kerjakan sendiri. Bak kelas otopilot.
Problem guru yang belum tercerahkan
dengan teknik fasilitasi ini, tak jarang menganggap menyulitkan dan
menyusahkan. Sebagian guru beralasan kesulitan memfasilitasi anak
didiknya karena sudah ribet dengan
tugas mengajar, menilai, dan tugas administratif lainnya. Dan ini
adalah keluhan akan tingginya tuntutan kepada guru saat ini.
Oleh karena itu, pemerintah dengan
K-13-nya, harus diingatkan agar jangan hanya membicarakan kebutuhan dan
keterampilan pedagogi guru, tetapi lebih banyak pada konten kebijakan
pendidikan yang harus disampaikan guru. Guru yang kreatif sekalipun
sering terkekang dengan kurikulum dan silabus dari pemerintah yang masih
menekankan pada kemampuan dasar, seperti matematika atau sains.
Guru Kreatif |
Sekolah dan guru tak kaku mengikuti
kurikulum saja. Harus fleksibel beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Pasalnya, anak sekarang harus menguasai keterampilan yang menekankan
pada praktik, tak hanya teori. Sekolah harus bisa menjamin anak didik
hingga tidak menjadi beban negara. Mereka harus siap masuk atau
menciptakan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, tugas dan tanggung
jawab guru kian tak mudah dan profesi guru tidak bisa lagi diisi SDM ala
kadarnya. Tetapi, ini tidak berarti semua guru begitu. Banyak juga guru
yang sudah baik kualitasnya, bahkan berprestasi, karena menghasilkan
praktik-praktik terbaik, tetapi kinerja mereka kerap tidak tersorot
karena mereka bekerja dalam sunyi.
Keterkaitannya dengan dunia kerja dengan
K-13, beberapa sumber menyebutkan bahwa di Amerika saja, selama 20
tahun terakhir, lebih dibutuhkan SDM yang memiliki keterampilan kognitif
dan interpersonal. Para ekonom dunia juga mengingatkan bahwa dunia
membutuhkan tenaga kerja yang tidak hanya mampu menganalisis masalah
sendirian, tetapi juga mampu mengomunikasikan temuannya kepada orang
lain di mana pun orang itu berada.
Melihat tren dunia, kualitas guru harus
ditingkatkan. Pelatihan berkelanjutan wajib hukumnya diikuti
pendampingan tiada akhir. Guru-guru yang dinilai sudah baik harus
dikloning sebanyak-banyaknya dengan cara berbagi pengalaman dan praktik
terbaik kepada sesama guru
0 komentar:
Posting Komentar