Tantangan bangsa Indonesia saat ini bagaimana membangun kecintaan
generasi muda kepada bangsa dan negaranya. Hal ini bukan tanpa alasan
karena sebagian kelompok di negara plural ini masih sibuk mempertanyakan
entitas-entitas pemersatu bangsa seperti identitas bangsa yang tertanam
dalam tradisi dan budaya, Pancasila, lambang negara, bahkan bendera
merah putih dan para pahlawan sebagai sesuatu yang tidak layak
dihormati. Mereka beralasan, yang layak dihormati hanyalah Tuhan semata.
Sudut pandang syariat buta ini masih bersemayam di kelompok-kelompok
yang tidak perlu penulis sebut di sini. Mereka lupa bahwa menghormati
Tuhan dan entitas-entitas bangsa tersebut tidaklah sama. Bahkan secara
substansi sangat berbeda. Tentu sebuah kekonyolan jika hormat bendera
merah putih adalah perbuatan syirik. Logika sederhana, ketika anak
menghormati orang tuanya, apakah lantas dikatakan syirik. Begitu juga
ketika umat Islam melakukan sholat menghadap tembok bahkan Ka’bah
sekalipun. Esensi dari terma menghormati perlu dipahami secara
substansial bukan parsial.
Ironisnya, para anak didik di sekolah masih banyak yang terpengaruh
oleh ajakan-ajakan syariat buta tersebut. Sebagian mendapatkan pemahaman
dari organisasi keagamaan yang selama ini eksis di program
ekstrakurikuler. Hal ini berbanding terbalik dengan lembaga-lembaga
Pendidikan Islam, baik pesantren maupun madrasah. Dengan porsi materi
pendidikan Islam yang kuat dan komprehensif, satuan pendidikan Islam
justru mampu memperkuat bangsa dan negara dengan peneguhan nasionalisme.
Di titik inilah memberi pemahaman sejarah begitu penting kepada anak
didik bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh dari perjuangan seluruh
elemen bangsa tak terkecuali oleh peran para tokoh pendidikan Islam.
Bahkan peran mereka sangat vital. Mengapa? Sejarah membuktikan bahwa
kalangan pesantrenlah yang selalu membuat penjajah Belanda dan Jepang
khawatir akan eksistensi kolonialismenya. Mereka sadar kalangan
pesantren merupakan potret pribumi yang kuat mempertahankan identitas
bangsa Indonesia melalui pendidikan Islam.
Perjuangan memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia hingga
kini terus dilakukan oleh berbagai stakeholder pendidikan Islam. Apalagi
era di mana radikalisme global semakin menyeruak, bahkan mereka
terang-terangan ingin mengganti dasar negara yang sudah paripurna yaitu
Pancasila dengan formalisasi agama. Selama ini, usaha sektarian dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut mampu ditangkal oleh
moderatisme Islam yang diusung oleh pendidikan Islam, terutama
pesantren. Merespon hal ini, Kementerian Agama juga berusaha
menggulirkan kurikulum Islam Rahmatan lil Alamin untuk madrasah dan
sebagai panduan materi Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah.
Kemerdekaan dalam mendidik
Pendidikan yang bersifat memerdekakan dipahami betul oleh satuan
pendidikan Islam yang memungkinkan anak didik mampu berkembang secara
utuh sebagai manusia. Esensi pendidikan yang memanusiakan manusia tidak
dimaknai secara sempit. Di dalam pendidikan Islam, anak didik mampu
berkembang, baik jasmani maupun rohaninya. Meskipun pesantren menerapkan
sistem asrama yang peraturannnya harus ditaati secara ketat, justru
menyadarkan mereka akan arti pendidikan yang mesti dijalani secara thuluz zaman, kontinu, belajar sepanjang hayat.
Jadi sebelum para pakar pendidikan modern mencetuskan teori life long edication,
pendidikan Islam telah lama menerapkan prinsip tersebut. Bahkan
pesantren memiliki keistimewaan ijazah sanad kelimuan shahih yang tidak
didapatkan dalam pendidikan di sekolah. Tradisi sanad keilmuan ini
dipertahankan betul oleh kalangan pesantren agar silsilah ilmu tidak
terputus, terus tersambung dari Nabi Muhammad SAW hingga kepada para
ulama dan murid-muridnya.
Mengapa tradisi ijazah sanad ini penting? Dalam sudut pandang
pendidikan Islam, sebuah ilmu tidak dapat diajarkan secara sembarangan
oleh orang yang tidak mempunyai ijazah dari gurunya yang terus
tersambung kepada guru-guru sebelumnya. Sanad keilmuan yang shahih ini
berimplikasi pada tingkat keberkahan dan keterserapan ilmu dalam proses
pengajaran. Dua aspek ini juga akan mudah didapatkan oleh seorang murid
karena faktor keridhoan gurunya. Keberkahan ilmu ini akan mendatangkan
manfaat dari ilmu itu sendiri. Adakah yang lebih penting dari ilmu
selain keberkahan dan kebermanfaatan?
Dari paparan sederhana itu, penulis ingin menyampaikan bahwa
kemerdekaan karakter yang kokoh terus dilakukan oleh berbagai pendidikan
Islam secara pedagogik di berbagai jenjang pendidikan. Di dalam dada
para murid telah tertanam bahwa menghormati penuh seorang guru merupakan
hal penting untuk memperoleh keridhoannya. Ukuran memperoleh keridhoan
seorang guru paling sederhana yakni tidak pernah membuatnya sakit hati
dengan tidak mematuhi setiap perilaku dan perkataan mendidiknya. Oleh
karena itu, dunia pendidikan patut prihatin ketika ada seorang murid
sampai memukul gurunya sendiri.
Prestasi global pendidikan Islam
Memerdekakan karakter dan imajinasi akan memunculkan inovasi dari
seorang murid yang tidak akan kehilangan identitas bangsanya melalui
instrumen pendidikan Islam. Kualitas kognitif terus dipertebal dengan
kualitas afektif dan psikomotorik sehingga mencetak generasi yang kokoh
secara nalar dan naluri. Hal ini dibuktikan oleh para siswa madrasah
yang tahun 2016 ini banyak meraih prestasi di kancah internasional dalam
ajang kompetisi matematika dan robotik.
Siswa madrasah bernama Syahrozad Zalfa Nadia (10) menunjukkan
prestasi gemilang dan mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah dunia
internasional. Siswa Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini mencatat prestasi pada kompetisi robot internasional di
Korea Selatan pada Minggu, 14 Agustus 2016 lalu.
Tidak tanggung-tanggung, bocah cantik yang biasa dipanggil Ocha ini
mambawa pulang 4 medali di International Youth Robot Competition (
IYRC). Keempat medali itu adalah Gold Medal Coding Mission, Excelent
Award Steam Mission, Excelent Award Creatif Design A, dan Bronze Medal
Creatif Design B. Bocah ajaib ini sebelumnya juga meraih prestasi
tertinggi dengan meraih juara kompetisi robotik di Malaysia dan
Singapura. Prestasi mengagumkan dari benih-benih pendidikan Islam
sehingga dia diplot sering mengisi acara televisi nasional untuk
menginspirasi generasi muda lain.
Prestasi gemilang juga diraih oleh Anisa Hayati (MA Matholibul Huda
Mlonggo-Jepara) meraih medali Emas, Septiana Rohmawati (MA Abadiyah
Pati-Jawa Tengah) meraih medali Perak, M. Ulin Nuha (MTs Abadiyah
Pati-Jawa Tengah) meraih medali Perak, Kholida Nailil Muda (MAN
Wonokromo-Yogyakarta) meraih medali Perak, dan Dedi Wahyudi (MTs
Matholibul Huda Mlonggo, Jepara-Jawa Tengan) meraih medali Perunggu.
Lima siswa madrasah tersebut berhasil mengharumkan nama bangsa dengan
menjuarai ajang kompetisi Matematika internasional, Singapore
International Mathematic Olympiad Challenge (SIMOC) yang diselenggarakan
di Singapura pada 12-15 Agustus 2016. Para peserta SIMOC merupakan
perwakilan dari tiap negara yang telah mengikuti seleksi SASMO
(Singapore and Asian Schools Math Olympiad) dan telah meraih juara.
Seleksi tersebut diikuti oleh ribuan peserta yang diadakan di negara
masing-masing pada bulan April 2016 lalu.
Prestasi gemilang ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak melulu
hanya pendidikan karakter dan budi pekerti, tetapi juga kualitas
kognitif yang mumpuni untuk bersaing di kancah dunia dan mengharumkan
nama bangsa. Perjuangan sejati untuk meneguhkan kemerdekaan Indonesia
sebagai warisan yang harus disadari oleh segenap anak muda agar
senantiasa mengabdikan diri untuk negeri dengan meraih prestasi terbaik
selain setia menjaga negara ini sebagai sebuah bangsa terhormat dengan
menghormati segala perbedaan yang ada sebagai identitas bangsa
Indonesia. Dirgahayu Indonesiaku!
0 komentar:
Posting Komentar