Jakarta, Kemdikbud ---
Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengapresiasi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang menerbitkan regulasi tentang
penanggulangan kekerasan di sekolah. Regulasi itu adalah Permendikbud
Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak
Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang mengatur tata cara
pencegahan dan penanggulangan kekerasan, dimana salah satunya terkait
kekerasan seksual.
Selain
itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Komite III
DPD RI menyepakati untuk menyelesaikan permasalahan tindak kekerasan di
bidang pendidikan melalui jalur pendidikan. Hal ini disimpulkan saat
Rapat Kerja Komite III DPD RI dengan Mendikbud Anies Baswedan beserta
para pejabat di lingkungan Kemdikbud, di Ruang Rapat DPD RI, Senayan,
Jakarta, Senin (13/6/2016).
“Kekerasan
terhadap anak dilihat sebagai peristiwa yang menjadi bagian dari
pendidikan, sehingga harus diubah pendekatannya melibatkan pelaku
pendidikan yang ada di lingkup pendidikan,” ujar Mendikbud Anies.
Menurut
Menteri Anies, kekerasan terhadap anak diselesaikan sebatas jalur hukum
atau adat. Akibatnya, anak dijauhkan dari pendidikan, dan bahkan tidak
mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan.
“Jadi,
kita harus menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan, dan
penjaminan kebebasan mendapat hak pendidikan bagi anak. Bila terjadi
tindak kekerasan dan ada peristiwa hukum di dalamnya, seperti terluka,
maka kita memfasilitasi antara pihak berwjib dengan siswa,” ujarnya.
Sebagai
informasi, Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Pendidikan menurut
Komisi Perlindungan Anak Indonesia per Januari 2011 s/d Juli 2015
menjelaskan 2011 sebanyak 276 kasus, sebanyak 552 kasus di 2012, 371
kasus di 2013 , 461 di 2014 dan s.d. Juli 2015 sebanyak 220.
Adapun
penyelesaian tindakan kekerasan seksual melalui pendekatan pendidikan
mencakup langkah penanggulangan, pemberian sanksi dan pencegahan yang
melibatkan pemangku kepentingan bidang pendidikan seperti sekolah, orang
tua, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Terdapat
penerbitan regulasi baru untuk menciptakan Sekolah Aman dari tindak
kekerasan. Pertama, Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang
mengatur tata cara pencegahan dan penanggulangan kekerasan, dimana
salah satunya terkait kekerasan seksual.
Sehingga,
sekolah harus berperan aktif dan membentuk gugus tugas pencegahan dan
penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Selain itu, sanksi
administratif yang mengikat dalam Permendikbud ini menjadi hal baru
dalam dunia hukum pendidikan.
Kedua,
Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang KawasanTanpa Rokok di
Lingkungan Sekolah. Regulasi ini dibuat dengan pertimbangan rokok
sebagai salah satu pemicu tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan
sekolah.
Ketiga, Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan
Permendikbud
ini mengatur kriteria terkait konten buku yang akan diedarkan di Satuan
Pendidikan, juga mewajibkan para pelaku penerbitan (penulis, editor,
illustrator, penilai, dan lainnya) menyebutkan CV lengkapnya sebagai
bentuk pertanggungjawaban terhadap buku.
Keempat,
Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah.
Peraturan terkait Pengenalan Lingkungan Sekolah ini menggantikan
kebijakan terkait Masa Orientasi Siswa yang selama ini rentan menjadi
tempat tindak kekerasan terjadi. Kemudian, peraturan ini menjadi ketat
dan mengatur sanksi yang mengikat bagi ekosistem pendidikan yang ada di
Satuan Pendidikan.
Kelima,
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Permendikbud ini mendorong orangtua siswa untuk melaksanakan kegiatan
yang menumbuhkan ekosistem pendidikan yang positif, seperti gerakan
literasi dan mengantar hari pertama anak sekolah agar hubungan antar
orangtua dan guru berlangsung dengan baik.
Pada
sisi lain, Ema Yohana, selaku DPD dari Sumatera Barat, mengungkapan
penyebab kekerasan, terutama kekerasan seksual tidak lepas dari
persoalan kemiskinan. “Ada satu kasus kekerasan, dimana anak merupakan
bagian dari keluarga yang tinggal dengan keluarga di rumah sangat
sederhana, kondisi tekanan di rumah bisa pengaruhi pikiran anak untuk
melakukan kekerasan di luar rumah,” jelasnya.
Ena
Haryani, anggota DPD RI dari Bengkulu, menambahkan pada kasus kekerasan
anak yang terjadi pada Yuyun beberapa waktu lalu merupakan bentuk
persoalan yang multi kompleks. “Kami coba mendalami bahwa tindak
kekerasan terjadi karena persoalan kemiskinan, orang tua yang harus
bekerja jauh dari rumah dan kurang membimbing anak, infrastruktur jalan
yg tidak ramah kepada anak sekolah,” jelasnya.
Sehingga,
kerja sama antar lintas kementerian pun harus dilakukan, wujudnya bisa
mendekatkan sumber ekonomi sehingga orang tua bisa memberikan pendidikan
kepada anak.
Peran serta guru
Potensi
tindak kekerasan guru terhadap siswa turut menjadi fokus perhatian.
Menteri Anies menganjurkan agar guru jangan menggunakan teknik-teknik
lama untuk mendisiplinkan anak karena teknik itu akan tercampur antara
usaha mendisiplinkan dengan menyalurkan perasaan.
“Mengajar anak itu mengetes kesabaran, harus mampu mengelola emosi berbeda dengan proses mendisiplinkan, jangan anak jadi peluapan emosi,” tegasnya.
“Mengajar anak itu mengetes kesabaran, harus mampu mengelola emosi berbeda dengan proses mendisiplinkan, jangan anak jadi peluapan emosi,” tegasnya.
Mendikbud
mengungkapkan pedoman bagi guru untuk mendisiplinkan anak tanpa harus
menjadikan siswa sebagai peluapan perasaan sedang dipersiapkan.
Pada
kesempatan yang sama, Hardi S. Hood, perwakilan DPD RI dari Kepulauan
Riau, mengungkapkan harus terdapat usaha untuk melunakkan posisi guru
dengan murid saat kegiatan belajar mengajar. “Harus dibentuk posisi guru
yang bekerja sama dengan siswa, siswa tidak sungkan kepada guru untuk
berdiskusi tetapi tetap hormat kepada guru, sehingga potensi tindak
kekerasan guru terhadap siswa dapat diminimalisir,” tutupnya.
0 komentar:
Posting Komentar