Blog informasi seputar dunia pendidikan

Sabtu, 23 September 2017

MIN 2 Tangsel, Dari Madrasah Sepi Peminat Jadi Favorit


Ciputat (Kemenag) --- Saat ditugaskan di madrasah negeri, Jetty Maynur mengaku sempat terheran-heran. Pasalnya, kondisi madrasah yang akan ia kelola sangat memprihatinkan. 
Padahal waktu itu sudah tahun 2007, sementara sejak tahun 1990-an, ia sudah mendirikan madrasah sendiri, cukup maju, serta meraih banyak prestasi tingkat nasional. 
Namun, kondisi ini justru membuatnya tertantang. Kalau bisa mengelola madrasah swasta dengan baik, mestinya ia juga bisa memajukan madrasah negeri. 
*** 
Sikapnya sopan. Gaya komunikasinya cukup bagus dan enerjik. Ia mudah akrab. Bicaranya lancar sekali. Beberapa kali terucap kata “Subhanallah”. Ibu dua anak ini cukup bersemangat berbagi pengalamannya dari A sampai Z. 
Senin (18/09), Jetty sempat berbagi pengalamannya merintis sekolah TK Islam dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan tim Kemenag. Bermodal dana dari ibu-ibu pengajian, ia merintis sekolah Islam untuk anak-anak. Sampai kini rintisannya menjadi salah satu sekolah swasta favorit di provinsi Banten dan mendapatkan penghargaan nasional. 
Jetty Maynur diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan berikutnya ia ditugaskan di MIN 2 Tangerang Selatan (dulu: MIN Cempaka Putih Ciputat). Madrasah negeri yang didirikan sejak 1980 dan dinegerikan pada 1993 ini tidak banyak dikenal orang. Beberapa tahun kemudian MIN ini berubah. 
Saat masa penerimaan siswa baru, para orang tua sudah mengantri semenjak sebelum subuh untuk mendapatkan formulir. Jumlah formulir yang diedarkan hanya dua kali jumlah siswa yang dterima di madrasah ini. ”Biar tidak terlalu banyak calon siswa yang ditolak,” kata Jetty. 
Kapasitas gedung dan SDM yang ada hanya bisa menampung jumlah siswa yang terbatas. Berangkat dari ustazah Ibu-Ibu pengajian saat kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, tahun 1986, Jetty masih tinggal di komplek Pamulang Permai 2, di rumah orang tuanya. 
Kebetulan orang tuanya sedang menjalani tugas militer di Palembang. Ia tinggal sendiri. Maka ruangan tamu ia gunakan sebagai tempat mengaji. Sore untuk anak-anak itu dan maghrib untuk ibu-ibu. Aktivitas pengajian itu ia berikan di sela-sela kuliah. 
Beberapa teman kuliahnya juga diajak mengajar. Ada yang membuatnya sangat bersemangat. Waktu itu buta huruf al-Quran di komplek itu masih tinggi. Tidak hanya mengajar, bersama remaja dan ibu-ibu pengajian, Jetty turut memfasilitasi pembanguna masjid At-Taqwa Raya di sana. Setelah masjid sudah jadi pengajian di rumahnya dipindahkan ke masjid. 
Menurut ibu dua anak ini, ia menjadi ustazah karena terpaksa, karena tidak ada yang membina warga. Sebenarnya ia tidak pernah belajar lama di pesantren. Pendidikan dasar agamanya diperoleh dari seorang Ustaz keluarga yang rutin dipanggil oleh ayahnya. Ia memanggilnya “Ustaz Kribo”. Berbekal keilmuan agama dari ustaz itu ditambah apa yang diperoleh dari IAIN itulah ia menjadi ustazah di kompleknya. 
Di sela kuliah ia juga sesekali ikut belajar menjadi “santri kalong” di salah satu pesantren di daerah Bogor untuk menambah ilmu agamanya. Mendirikan RA ketika akan lulus kuliah, ibu-ibu pengajian memintanya mendirikan TK Islam. Mereka tahunya TK, bukan Raudhotul Athfal (RA). “Kasian anak-anak kami ini. Kalau sekolah di TK umum mereka tidak kenal agama,”kata Jetty menirukan ibu-ibu itu dan ia menyanggupi permintaan mereka. 
Kebayangkan mahasiswa IAIN disiapkan untuk menjadi guru sekolah menengah, tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Jetty harus “banting setir” mengajar anak-anak. Akhirnya ia mulai belajar mengenai seluk-beluk TK. Ia berkeliling dan belajar ke beberapa TK di Jakarta. Ia membuat komparasi antara TK dan RA yang ia datangi. Setelah ia yakin mengerti betul seluk-beluk TK, ia mulai bekerja. Ia membuat pemetaan dan mulai menyusun perencanaan. 
Modal untuk mendirikan TK Islam waktu itu berasal dari ibu-ibu pengajian sebesar Rp 5 juta. Modal awal itu ia gunakan untuk penyiapan tempat belajar, pembelian alat-alat mainan dan lain-lain seperti lazimnya TK. 
Juli 1993 itu mulailah TK pertama. Namanya RA As Salamah. Lokasinya di Pamulang Permai 2, sekarang masuk wilayah Tangerang Selatan. Murid pertama TK As Salamah ada 40 anak yang dibagi ke dalam tiga kelas. Waktu itu ia memanggil temen-temannya yang memang lulus PGTK, tapi karena ini TK Islam, ia mencari pengajar yang punya “ruh-ruh keislaman”. 
Anak-anak mulai ditanamkan ajaran keislaman. Anak-anak putri diajarkan memakai kerudung yang menunjukkan nuansa Raudhatul Athfalnya. 
Mendirikan MI 
Setelah TK As Salamah meluluskan satu angkatan, ibu-ibu pengajian datang lagi meminta Jetty mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI). “Sayang anak-anak kalau masuk ke SD,” kata mereka. 
Waktu itu di daerah ia tinggal, madrasah masih tidak dikenal. Yang dikenal hanya MP (Madrasah Pembangunan). Bagus tapi mahal. Ibu-ibu pengajian itu tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke MP. Akhirnya mereka menyerahkan dana 10 juta kepada Jetty sebagai modal awal mendirikan MI. 
Tahun 1994, dengan modal itu ia mengontrak rumah tipe 36 di daerah Pamulang 2 untuk menjalankan aktivitas pendidikan. Meja kursi dan papan tulisnya dipinjam sementara dari seorang dosen IAIN. Setelah berjalan satu tahun, beberapa calon siswa baru berdatangan. Jetty bingung karena berbeda dengan TK cepat meluluskan siswanya, masa belajar anak-anak MI ini mestinya enam tahun lamanya. Dimana lagi murid-murid baru akan belajar? 
Masalah lain, sampai sejauh itu, MI yang ia kelola belum mendapatkan izin. Untungnya, tidak jauh dari MI As Salamah, ada satu MI di Ciputat yang sudah mati, tidak ada muridnya. Jetty diperbolehkan menggunakan perizinan MI mati itu. 
“Tapi saya diminta harus janji kalau sudah empat tahun harus sudah punya bangunan. Saya bilang doain ya pak empat tahun punya gedung. Alhamdulillah, akhirnya belum empat tahun kita sudah mendapat gedung. Tanahnya di daerah vasum 1200-an m2 dan bangunnya ya masih memakai dana dari murid angkatan pertama dan sumbangan orang tua,” katanya. 
Gaji guru MI waktu itu masih berasal dari dana infak seadanya, terutama dikumpulkan dari ibu-ibu pengajian. Jetty juga menghimpun dana zakat mal dari para aghniya untuk pembuatan lokal dan kesejahteraan guru. Trust masyarakat kepadanya menjadi salah satu kunci sukses bisa dipercaya menghimpun dana masyarakat.
Madrasah As Salamah terus berkembang dengan unit pendidikan RA dan MI. Pada tahun keempat, bangunan sudah bagus dan tahun keenam sudah bisa meluluskan siswanya. 
Pada 2005, madrasah ini menjadi madrasah berprestasi nasional yang memenangi berbagai kompetisi. MI ini menjadi yang terbaik di Provinsi Banten. MIN As Salamah menjadi salah satu madrasah rujukan. “Para siswanya sekarang berasal dari daerah yang agak jauh. Sekarang sudah masuk generasi ketiga. Dan denger-denger sekarang As Salamah menjadi MI termahal di Banten,” kata Jetty. Menjadi PNS, 
Mengelola Madrasah Negeri Tahun 1999, Jetty Maynur diangkat menjadi PNS Kementerian Agama dan pertama ditugaskan di MTSN Pamulang. Ia mengampu mata pelajaran Biologi. Waktu itu diriya meminta izin untuk tetap mengelola MI As Salamah karena masih dalam tahap perkembangan dan belum bisa ditinggalkan. Pagi hari ia berada di MI kemudian siangnya baru ke MTS. 
Tahun 2007 ia dipindahkan ke MIN 2 Tangerang Selatan. “Ada yang bilang ke saya, bu tolong dong perbaiki sekolah negeri,” katanya. Ia berpikir, sekolah negeri seharusnya sudah lebih baik pada masa itu. Namun ketika ia ke lokasi, ternyata MI yang akan ia kelola sangat berbeda dengan MTs Pamulang. Kondisinya masih memperihatinkan. 
“Namun justru itu menjadi tantangan bagi saya. Kata kepala kantor, coba bu, ibu kan bisa menjadikan sekolah swasta yang tadinya tidak ada apa-apa menjadi sekolah yang bagus. Sekarang ibu bisa membuktikan bahwa ibu nggak cuman bisa membuat madrasah yang awalnya dari nol tapi juga bisa benahin madrasah ini,” katanya. 
“Ketika saya ditempatkan di sini (MIN 2 Tangerang Selatan) saya bilang ya Allah madrasah negeri tahun 2007 kog masih begini. Padahal saya bikin sekolah tahun 1993 dan tahun 2005 sudah bagus dan berhasil meraih prestasi tingkat nasional,” kenangnya. 
Minggu Pertama Bertugas 
Beberapa hari bertugas, ia hanya mengamati keadaan. Ia menyewa rumah kos yang paling murah di dekat madrasah sehingga memudahkannya pulang-pergi. Persoalan yang pertama ia amati adalah sampah. 
MIN 2 Tangerang Selatan jauh dari dari kebersihan. Sampah di mana-mana. Selanjutnya ia mengamati banyak guru yang tidak disiplin. “Minggu pertama itu saya cuman mengamati keadaan. Tapi saya bertekad kebaikan yang saya lakukan di As Salamah dulu akan saya coba tularkan di sini. Saya menyapa anak-anak setiap pagi. Saya berdialog dengan para guru,” katanya. 
“Ada salah satu figur guru lelaki PNS, bertanya kenapa sih ibu datang ke sini pagi-pagi benar. Padahal kepala sekolah yang lama itu jam setengah sepuluh baru datang ke sini. Dia menyuci baju dulu, masak, dan segala macam dulu, tapi ibu jam 06.15 sudah ada di sini?” 
Lalu saya bilang, ‘Apa bapak nggak senang disambut oleh saya?’ Tugas saya kan melayani bapak dan ibu guru gitu kan? Dia kaget sekali saya mengatakan itu.” 
“Tidak hanya datang telat, pada jam istirahat beberapa guru juga pulang. Biasanya saya turut mengisi kelas yang pada kosong. Nah pas gurunya masuk sekitar 15 menit, lalu saya bilang dari mana bu, dijawab abis pulang bu masak dulu. Saya bilang, Subhanallah ini sekolah negeri benar-benar asal-asalan. Para guru juga banyak yang tidak bisa membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran),” kata Jetty. 
Termasuk yang ia amati adalah seragam yang dikenakan oleh anak MI. Seragam mereka tidak jauh beda dengan pakaian SD negeri. Anak-anak perempuannya tidak memakai kerudung dan memakai baju lengannya pendek karena waktu itu masih dibebaskan. Lalu akhlak anak-anak kepada guru juga tidak begitu baik. Semua ia catat menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. 
“Akhirnya PR itu saya petakan, mana yang bisa saya lakukan harian, mingguan, bulanan, semesteran, dan tahunan,” demikian Jetty. 
Mulai dari Membereskan Sampah 
Jetty memulai pekerjaannya dengan membereskan sampah. “Waktu itu saya bilang masya Allah, tempat sampah nggak ada,” katanya. Untungnya ia aktif di majelis taklim dan ia sampaikan kepada ibu-bu. “Ada yang mau infaq tempat sampah nggak? Jadi saya ditempatkan di tempat tugas baru banyak sampah berceceran di mana-mana,” katanya. 
Ada ibu yang menginfakkan 3 tempat sampah besar untuk MIN itu. “Saya senang banget itu, dan saya bilang ke anakanak, nak ayo kita buang sampah pada tempatnya. Jadi kalau istirahat saya melihat anak-anak dan mengajak ayo Nak buang-sampah pada tempatnya, buang sampah itu sedekah loh.Terus begitu setiap hari, sampai menjadi kebiasaan buang sampah pada itu hidup.” 
Setelah memberesi sampah, ia meningkat ke seragam. “Saya kasihan. Anak-anak madrasah tapi kok nggak pake kerudung, nuansa islaminya nggak kelihatan. Akhirnya saya hitung anak-anak yang nggak memakai kerudung sekitar 30-an, lalu saya ke majelis taklim dan bilang, Bu apakah ada yang mau sedekah kerudung? Masalahnya banyak murid yang berasal dari keluarga nggak mampu, anak jadi buruh cuci dan lainnya. Saya kan nggak enak juga untuk meyuruh membeli kerudung akhirnya ya ke majelis taklim itu.” 
“Lalu saya berikan kerudung titipan ibu-ibu majelis ta’lim dan bilang, Nak nanti kerudungnya kamu pakai ya! Kamu cantik deh kalau pake kerudung, saya puji.”
 “Lalu saya bilang juga kepada orang tua mereka, Pak- Bu tolong nabung ya tolong karena ini kan roknya dan celananya masih banyak yang pendek. Jadi disosialisasikan dulu budaya menabung, September ke Juli kan lumayan tuh sekitar sepuluh bulanan itu. Jadi sepuluh bulan itu digunakan untuk menabung supaya awal pembelajaran tahun depan sudah bisa memakai pakaian seragam yang lebih rapi.” Akhirnya tahun baru itu sudah mulai rapi, murid barunya juga rapi. 
Mengejar Akreditasi 
Setelah membenahi siswa, berikutya meningkat pada gurunya. Problem paling berat, para guru tidak bisa menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Ia meminta para guru cepat belajar dan berbenah. Untungnya ia tertolong, pada tahun 2007 itu madrasah ini harus menjalani akreditasi. 
“Padahal madrasah saya yang swasta saja sudah dapat akreditasi dan dapat A. Akhirnya saya tanya ke teman-teman, teman-teman akreditasinya pinginnya apa? Mereka bilang kita bisa nggak dapet A seperti sekolah ibu yang ada di sana? Saya bilang, bisa. Lalu semua berkerja sama. Jadi selama dua minggu itu kita pulang di luar jam kerja, teradang sampai jam 10 malam karena memang guru-guru nggak bisa membuat RPP. Akhirnya saya mengajari para guru membikin RPP.” 
Pada waktu itu administrasi madrasah masih berantakan, jauh dari standar. Ia kemudian membenahi kantor dan manajemen tata usaha. “Saya mengawal terus kerjasama temen-temen, dan Subhanallah ternyata kerja keras kita terlihat dan saat akreditasi kita mendapat nilai A. Tahun 2007 itu di Kanwil kami yang terakreditasi A untuk negeri hanya 3,” kata Jetty. 
Jadi proses untuk memperoleh akredtasi A itu dtempuh hanya dalam waktu sekitar 3 bulan. September 2007 ia mulai bertugas dan Desember itu sudah terakreditasi A. Dorongan ingin memperoleh Akreditasi A itu ia pompa terus sehinga semua mau bergerak, terutama guru-guru dan tenaga mudanya yang masih sangat enerjik. Meski ada yang terpental dan sampai mengajukan mutasi karena tidak siap dengan sistem baru yang ia terapkan, proses pembenahan MIN Cempaka Putih berlangsung sukses. 
Mulai Percaya Diri 
Setelah Akreditasi A sudah diperoleh, para guru dan siswa semakin percaya diri dengan madrasah mereka. Setiap Sabtu para guru belajar bersama. “Karena guru-guru yang kelas 1,2,3 itu nggak ngerti tematik, padahal waktu itu kita sudah memakai kurikulum 2006 dan kurikulum itu sudah harus tematik untuk kelas 1,2,3. Saya mencontohkan dan memberikan wawasan tentang tematik, lalu guru-guru lain saya minta menilai apa kekurangannya dan lainnya. Nah dari situ dan akhirnya mereka ngikutin. Itu berlangsung selama 6 bulan lamanya,” katanya. 
“Setelah 6 bulan alhamdulillah, mereka sudah bisa bikin silabus, perogram mingguan, dan lainnya, akhirnya saya bisa lepas pelan-pelan,” tambahnya. 
Semua proses pembenahan berjalan. Jetty Maynur melihat ada beberapa hal dasar yang harus ia kembangkan dari madrasah bersama teman teman guru lainnya. Pertama, persoalan akidah dan dasar agama para siswa harus kuat karena itu adalah basic keimanan. Jadi ketika para siswa sudah lulus, mereka tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif. 
Kedua, bagaimana madrasah mengembangkan sains dan matematik. Kedua materi ini adalah dasar kemampuan nalar. Untuk matematik dan sains ketika saat ia lihat masih lemah dan guru-gurunya tidak terlalu mahir dalam dua materi itu. Target yang ia canangkan dalam hal ini adalah meningkatkan mutu guru, karena siswa apalagi di usia MI sangat tergantung kepada guru. Ia pun meminta bantuan kepada para dosennya.
“Saya bilang tolong dong turun gunung untuk mengajar guru-guru kami konsep berhitung dan lainnya selanjutnya bagaimana mengajarkan konsep metodologi matematika,” kenangnya. 
Program Bahasa dan seni Budaya 
Berikutnya, ia mulai mengembangkan dari sektor bahasanya yakni bahasa Arab dan Inggris. Dimulai dengan percakapan bahasa Arab dan Inggris untuk harian. Jadi ketika ada siswa meminta izin, mereka harus memakai bahasa Inggris atau bahasa Arab. Jika tidak, maka mereka tidak diizinkan. Akhirnya mereka menjadi terbiasa. Ia juga bekerjasama dengan British International School di kawasan Bintaro. Kebetulan ada orang tua murid yang bekerja di sana dan mau menjadi volunteer. Setiap Sabtu ada kajian tentang ekstrakurikuler atau ekskul fun in English.
“Setiap bulan sekali guru-guru asing mereka datang ke sini entah dari Kanada, Australia, Meksiko, atau yang lain. Karena mereka beragam yang mengajar di internasional school, maka kita juga belajar banyak hal. Alhamdulillah hasilnya juara story telling yang barubaru ini setingkat provinsi Banten,” katanya. 
Berikutnya lagi yang dikembangkan adalah seni budaya. Jetty Mayur yakin dengan seni budaya akan memperhalus budi pekerti anak. Jadi anak yang suka tawuran kan bisa lebih halus oleh adanya seni budaya ini. Jadi ada seni rupa, tari, lukis, musik. Di musik ini ada marawis, band, dan drumband yang baru-baru ini dikembangkan lagi. Dan.. “Subhanallah keempatempatnya berkembang semuanya.” 
“Alhamdulillah. Sekarang bahasa sudah menghasilkan, matematika dan sains juara KSN tingkat nasional 2 kali berturut-turut untuk matematikanya,” katanya. Hal terpenting dalam semua pengembangan, termasuk dalam memacu siswa berpestasi adalah pendampingan. 
Di bidang olahraga madrasah ini juga merah prestasi di bidang renang dan catur, bahkan sampai tingkat nasional. Kelas Jauh Gedung dan ruang kelas MIN berada di Jl. W.R. Supratman Gg. Mahoni No. 58 Rt. 01/04 Kp.Utan Ciputat. Selain itu MIN Cempaka Putih juga membina kelas jauh filial di kawasan Vila Dago Pamulang. Kelas jauh ini dirikan 6 tahun yang lalu. 
“Waktu itu ada tanah vakum. Warga di sana membutuhkan sekolah dasar tapi mereka ingin sekolah yang berciri khas Islam. Akhirnya mereka datang ke Kemenag Kabupaten Tangerang. Akhirnya saya dipanggil. Ditawarkan kepada saya, ibu bisa nggak bikin sekolah tersebut?” 
Yang membuat Jetty Maynur bersemangat, tanah itu menjadi rebutan antara DKM masjid dengan pihak gereja. “Setelah itu saya bismillah, nggak apa-apa meskipun kepala kantor juga bilang kalau bangun madrasah ini nggak ada dananya sedangkan mereka dateng bulan April dan Juli harus sudah ada dan berjalan. Saya bilang kalau ini jadi gereja saya dosa juga kalau begitu. Akhirnya kita mengumpulkan dana. Kebetulan saya masih aktif di yayasan As Salamah yang sekarang sudah menjadi sekolah besar itu. Lalu saya bilang madrasah baru ini butuh tiga lokal dengan sekitar Rp 360 juta nanti saya nyicil sekitar 3 tahunan.” 
Dengan dana itu Jetty berhasil membuka 3 kelas, lalu bertambah 2 lokal tiap tahunnya. Jadi setiap tahun MIN 2 Tangerang Selatan membuka 2 kelas ditambah 2 kelas filial. Total untuk tahun ajaran 2015-2016 MIN 2 Tangerang Selatan mempunya 24 kelas dari kelas 1 sampai kelas 6. Filial MIN 2 Tangerang Selatan di Vila Dago saat ini menuju proses penegerian dari Kota Tangerang Selatan. Setelah dinegerikan madrasah ini akan berpisah dan menjadi MIN 3.
Saat ini madrasah di Vila Dago Tol (VDT) ini dikelola secara mandiri. Kepalanya madrasahnya adalah Jetty Maynur sendiri yang dibantu 3 wakil kepala (waka) di sana: Waka kesiswaan, waka sarana dan prasarana (sarpras), dan waka kurikulum.
Setiap Jumat, pengelola MIN 2 Tangerang Selatan dan pengelola kelas jauh berkumpul untuk sharing, dan sebulan sekali diagendakan pertemuan dengan pembahasan yang lebih stategis. Jadi terkait pendirian kelas jauh, awalnya Jetty merasa tertantang karena tanah kosong itu diincar oleh geraja. Selain itu di kawasan Tangerang Selatan jumlah madrasah dan SD tidak berimbang. Di kawasan Ciputat Timur saja ada 39 SD Negeri, sementara MIN cuman 1. 
Kerjasama Internasional 
Sejak tahun 2011 MIN 2 Tangerang Selatan mengikuti Program Bridge. Program ini mengemas pembelajaran tentang seni, budaya dan bahasa antara dua negara yaitu Indonesia dan Australia. Sejak itu MIN 2 Tangerang Selatan mempunyai “sister school” Marborought Primary School (MPS) Merlbourne Australia. 
Beberapa kali sejak 2011 guru-guru MIN mendapatkan kesempatan mengunjungi MPS. Sebaliknya, guru-guru MPS juga beberapa kali mengunjungi MIN 2 Tangerang Selatan. Pada Maret 2014 Jetty bersama seorang guru mendampingi lima muridnya untuk berkunjung dan belajar di MPS. Kelima anak madrasah yang belajar di MPS itu ternyata cukup pandai dan bisa mengikuti siswa MPS dalam belajar. Para siswa MPS dilatih dan dibimbing menjadi anak-anak yang berani untuk bertanya dan menjawab. Kepada para siswa MPS, para siswa MIN 2 Tangerang Selatan juga berbagi pelajaran seputar kebudayaan Indonesia dan memperagakan tari-tarian khas asal daerah Sumatera Barat. 
“Kami belajar tentang sistem belajar di sana, dan murid kami juga belajar bersama anak-anak di sana. Dan ternyata anak murid kami juga hebat nggak kalah cerdasnya dengan mereka.” Jetty bercerita, di Australia ada yang menarik. 
Mereka tidak beragama Islam, namun nilai Ilami berkembang bagus di sana. Ada disiplin, keteraturan, dan lain sebagainya. Dua bulan sekali guru-guru dan siswa MIN berkomunikasi via skype dengan pihak MPS untuk berdiskusi dengan tema-tema tertentu. “Misalkan tentang musik. Jadi dari sana menampilkan siswanya dengan alat musiknya dan di kami juga seperti itu. Jadi kita bisa bertukar budaya dengan mereka dan juga mereka tahu tentang kita dan kita tahu tentang mereka,” kata Jetty. 
Siswa Membludak Tiap Tahun 
Waktu Jetty Maynur masuk ke MIN 2 Tangerang Selatan, baru ada 290 siswa dari kelas 1 sampai 6. Masing-masing satu kelas. Sekarang jumlah siswanya sudah 495 siswa. Ditambah kelas jauh, jumlah siswanya menjadi 815 siswa. Sekarang jumlah siswa membludak. 
“Kalau pendaftaran itu kita batasi, karena kalau banyak yang tidak lulus itu kan nggak tega ya. Kalau tidak dibatasi bisa 600 an yang nggak lolos. Jadi sistem kami semisal menerima 70, ya pendaftarnya dibatasi 140 saja. Misalkan dibuka benar-benar itu bisa sedih sekali, seharusnya memang kalau pendidikan dasar itu tidak ada tes karena sebenarnya kita yang harus memfasilitasi. Cuman karena keadaan, kita nggak bisa peminatnya terlalu banyak. “ 
“Seperti tahun kemarin itu, bayangkan dari jam 4 pagi orang tua sudah antre di depan untuk bisa dapat nomor. Sebenarnya formulir baru dibagikan pukul 08.00, namun karena takut mengganggu jam belajar, kami umumkan jam 06.00 saja. Ternyata mereka antre mulai jam 4 pagi,” tambahnya. 
Demikianlah Jetty Maynur telah tercatat sebagai salah satu kepala sekolah yang telah meningkatkan nilai tawar madrasah. Ia bertekad menularkan ilmunya kepada mahasiswa KKN. “Madrasah itu nggak boleh besar sendiri karena kalau besar sendiri negeri repot jadi madrasah di sekitarnya juga harus diberdayakan,” katanya. 
Menurutnya, Kepala Madrasah itu adalah lokomotif perubahan di madrasah. “Saya bicara ke teman-teman, bagaimana caranya agar madrasah ini dicintai, dipilih oleh masyarakat, dan lain sebagainya. Sayang jika ada madrasah yang tidak berkembang. Apalagi mereka memiliki kans yang baik misalnya berlokasi di pinggir jalan,” katanya. 
Tidak berpuas dengan prestasinya sendiri. Ia tidak pernah berhenti belajar. Para guru MIN 2 Tangerang Selatan sudah mendapatkan penghargaan sebagai Guru Teladan Tingkat Propinsi Banten Tahun 2008, Guru Teladan Tingkat Nasional Tahun 2008, Guru Kreatif Alfatoun Tahun 2013, dan lain-lain. 
Namun ia tidak berpuas dengan semua hasil yang telah dicapai. Ia tidak berhenti mengadakan studi banding dan berkoordinasi dengan beberapa tokoh pengelola madrasah di Indonesia yang dinilainya telah berhasil dan sukses. Ada satu kalimat penutup yang ia sampaikan. Menurutnya, mutu madrasah itu berasal dari kualistas SDM-nya bukan fasilitasnya. Jadi keterbatasan fasilitas tidak boleh menjadi penghambat madrasah untuk terus bergerak maju.

Share:

0 komentar:

Postingan Populer